Busway (TransJakarta)
Terakhir,
di akhir masa kepemimpinan Sutiyoso, wajah Ibukota dihiasi dengan bus
TransJakarta yang menjadi tulang punggung konsep sistem transportasi
makro/massal.
Menurut data yang ada satu korodor
TransJakarta sudah bisa
mengurangi 14% jumlah mobil di jakarta.
Dapat di bayangkan jika 50% sarana
transportasi tersebut di bangun bbukan
saja jumlah mobil yang lalu lalang menjadi turun drastis, tetapi biaya
transportasi publik yang berada di kawasan Megapolitan Jabodetabek akan menjadi
efisien (Sutiyoso, 2007: 105).
Tetapi dengan 7 koridor efektif dan 329
armada bus, busway justru menjadi masalah baru. Beberapa catatan yang
menyebabkan masalah dapat dengan mudah diidentifikasi, seperti pembangunan
koridor di bahu jalan umum tanpa penambahan luas-panjang dan jaringan jalan,
serta jumlah armada yang hanya mampu menyerap 210.000 penumpang per hari
(berbanding 8,96 juta penduduk) dengan tingkat kepadatan yang tinggi
(berdesakan), apalagi dengan kebijakan Fauzi Bowo yang memperbolehkan kendaraan
lain melintasi jalur busway. Busway yang diklaim sebagai
sarana transportasi massal-cepat itupun semakin minim sanjungan. Terbukti,
hasil riset tim Japan International Cooperation Agency (JICA)
menyatakan bahwa perpindahan pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna busway
hanya mencapai 14%. Di sisi lain, Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan
Bermotor Indonesia) menargetkan mampu menjual sekiar 420 ribu unit kendaraan
setahunnya. Ini berarti masyarakat Ibukota tidak memiliki apresiasi yang baik
terhadap busway sebagai tawaran para pengurus Ibukota.
Melihat dari sejarahnya
pun, pola transportasi yang paling tepat untuk diterapkan di kota seperti
Jakarta adalah transportasi yang bersiafat massal, yang mampu mengmindahkan
banyak orang sekaligus dalam waktu yang relatif singkat, cepat, dan aman. Namun
sayangnya hal ini tidak disadari oleh pengambil kebijakan ibukota di masa
lampau. Bertuntungnya, pemerintah saat ini muali kembali ke arah kebjikan yang
sesuai. Tren yang berkembang akhir-akhir adalah pengembangan sistem
transportasi massal yang terpadu di DKI Jakarta. Hal ini sudah dimulai sejak
diluncurkannya program Busway oleh gubernur Sutiyoso beberapa tahun
yang lalu.
Monorail
Seajatinya pembangunan
infrasturktur transportasi tidak dapat dilakukan dalam setahun dua tahun. Perlu
kebijakan yang berkesinambungan agar masalah ini dapat diselesaikan dengan
baik. Pembangunan mass rapid transit(MRT) beserta sistem yang
mendukungnya adalah solusi jangka yang harus terus diupayakan. Jakarta dalam
hal ini sudah memiliki master plan untuk mengintegrasikan sistem
busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik, sebagai MRT
andalannya dimasa datang. Dengan berbagai kekurangannya, program busway
dan kereta listrik bagaimanapun telah menjadi prioneer MRT yang harus
terus didukung dan diperjuangkan.
Tidak seperti busway yang sudah
melenggang, monorail hingga kini masih menyisakan cerita sendu. Awalnya walau
rasa antipati mendadak ingin menolak lagi lantaran waswas pada dampak macetnya,
namun kali ini telinga rasanya mendengar sesuatu yang lebih sejuk. Monorail
terdengar begitu modren, canggih dan berbeda. Karenanya, ketika masyarakat
diajak bermacet ria sepanjang jalan-jalan utama seperti kuningan, masih
terbesit asa bahwa kita akan menikmatinya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sayangnya asa ini menjadi meredup karena investor swasta monorail tak mampu
mencari pendanaan. Proyek yang terhenti menyisakan tiang-tiang yang terbengkalai
dalam seribu bahasa (B. Susantono, 2009: 34).
No comments:
Post a Comment