SEJARAH TRANSPORTASI JAKARTA
A. Masa Awal Pelabuhan Sunda Kelapa
Sejarah transportasi kota Jakarta bermula dari sebuah
pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan dari
kerajaan Pajajaran. Sebelumnya merupakan milik kerajaan Tarumanegara yang
dipakai untuk transportasi barang-barang dagangan dengan pedagang-pedagang dari
India dan Cina. Sejak dulu Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang cukup
strategis dan ramai. Maka tidak heran sejak dulu arus transportasi sudah sedemikian
padat di pelabuhan ini. Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai
masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat
bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus
diangkut dengan perahu-perahu. Oleh karena itu dibangunlah pelabuhan baru di
daerah tanjung priok sekitar 15 km kearah timur dari pelabuhan sunda kelapa.
Untuk memperlancar arus barang maka dibangun juga jalan kereta api pertama
(1873) antara Batavia – Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya muncul
trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya.
Dari sejarah diatas bisa diambil kesimpulan bahwa sejak dulu kota Jakarta
merupakan kota dengan arus perpindahan barang maupun orang yang cukup padat.
Infrastruktur dasar perkotaannya pun merupakan infrastrukur transportasi
seperti pelabuhan dan jalur kereta api.
B. Gerobak Sapi Dan Trem
Perkembangan tranportasi
kota Jakarta pun memasuki babak baru ketika daerah-daerah pemukiman muncul
didaerah sekitar pelabuhan. Mulailah muncul jalan-jalan penghubung di daerah
sekitar pelabuhan. Hingga zaman sebelum kemerdekaan , Jakarta sudah berubah
menjadi sebuah kota yang modern yang kala itu bernama Batavia. Pada saat itu,
tahun 1943 sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ada angkutan
massal yang disebut Zidosha Sokyoku (ZS). Jangan membayangkan bentuk
kendaraan yang bermesin, angkutan tersebut berupa sebuah gerobak yang ditarik
seekor sapi, bahkan ketika keadaan serba sulit karena perang sapi penariknya
justru disembelih untuk dimakan. Selain itu sejak tahun 1910, Jakarta sudah
mempunyai jaringan trem. Trem adalah kereta dalam kota yang digerakkan oleh
mesin uap. Trem merupakan angkutan massal pertama yang ada di Jakarta. Ketika
itu Jaringan trem di Jakarta sudah melayani arus perpindahan dari pelabuhan
hingga kampung melayu. Sampai saat ini peninggalan jejak trem di Jakarta
masih bis kita lihat diantaranya di museum fatahillah serta di Jembatan bekas
trem yang milintas sungai Ciliwung di daerah Raden Saleh atau Dipo trem
yang sekarang ditempati PPD sebagai dipo di daerah Salemba. Dapat disimpulaan
ketika itu transportasi massal menjadi pilihan utama masyarakat untuk
berpergian di dalam kota.
C. Oplet,
Bus, Dan Kendaraan Pribadi
Kebijakan mulai beralih
kepada penggunaan kendaraan pribadi sejak taun 1960an ketika presiden Sukarno
memerintahkan penghapusan trem dari Jakarta dengan alasan bahwa trem sudah
tidak cocok lagi untuk kota sebesar jakarta. Sayangnya ketika trem dihapus,
sebelumnya tidak diimbangi dengan jumlah bus. Ketika itu politik kita yang
‘progresif revolusioner’ berpihak ke Blok Timur yang sedang berkonfrontasi
dengan Blok Barat yang dijuluki Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan
imperialisme). Tidak heran bus-bus yang beroperasi di jakarta berasal dari
Eropa Timur, seperti merek Robur dan Ikarus. Akan tetapi, karena jumlahnya
tidak banyak, opletlah yang mendominasi angkutan di Jakarta . Sampai-sampai
beroperasi ke jalan-jalan protokol, di samping becak untuk jarak dekat. Waktu
itu oplet (dari kata autolet) bodinya terbuat dari kayu yang dirakit di dalam
negeri. Sedangkan mesinya dari mobil tahun 1940-an dan 1950-an, seperti merek
Austin dan Moris Minor (Inggris) serta Fiat (Italia). Di Jakarta juga
disebut ostin, mengacu nama Austin, yang sisa-sisanya kini dapat dihitung
dengan jari.
Untuk angkutan umum yang menggunakan
bus seperti sekarang kita mengenal PPD sejak tahun 1920-an Berdiri Perusahaan
Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta atau disingkat Perum PPD. PPD ini
merupakan penggabungan dari alat transportasi milik Nederlansch Indische Tram
Matschappij dengan Bataviach Electrische
Tram Matschappij. Nah PPD inilahyang menjadi saksi bisu perkembangan
alat transportasi massal yang digunakan dari dulu sampai sekarang.selain PPD
ada juga Djawatan Angkoetan Motor
Repoeplik Indonesia atau DAMRI. Damri dibentuk pada tahun 1946 dengan
tugas utama menyelenggarakan pengangkutan darat dengan bus, truk, dan angkutan
bermotor lainnya (R. Khadafi, 2009: 2).
Kemudian pada tahun
1970an terjadi peningkatan jumlah kendaraaan secara signifikan di Jakarta.
Terjadilah revolusi transportasi yang melanda Jakarta. Masyarakat
berlomba-lomba untuk memiliki kendaraaan pribadi. Seakan-akan belum menjadi
orang kaya jika belum mempunyai mobil pribadi. Ditunjang oleh sistem
pengkreditan yang luar biasa mudah, membuat ,aysrakat berlomba-lomba memiliki
mobil pribadi. Pemerintah pun seakan mendukung program ‘pembelian kendaraan
pribadi’ ini. Jalan-jalan utama diperlebar, jalur-jalur ditambah, dan
kebijakan-kebijakan lain yang semakin memanjakan penggunaan mobil pribadi.
Akmumulasi akibat dari kebijakan ini adalah keadaan Jakarta seperti
sekarang. Dimana kapasitas jalan sudah tidak mampu lagi menampung arus
kendaraan yang melintas diatasnya smentra pertumbuhan pemilikan kendaraan tetap
saja tinggi.
Kereta rel listrik (KRL) jabodetabek
mulai di operasikan oleh PJKA sejak tahun 1976. KRL ini terdiri dari 2 kelas
yaitu kelas ekonomi dan kelas ekspres yang menggunakan pendingin udara. Jalur
KRL melewati beberapa stasiun sentral, seperti Stasiun Tanah Abang, Jati
Negara, Pasar Senen, dan Manggarai (R. Khadafi, 2009: 2).
Sebenarnya kebijakan
transportasi Jakarta, dalam satu dasawarsa terakhir, sudah memasuki tahapan
baru. Pemerintah mulai menyadari bahwa untuk kota seperti Jakarta, penggunaan
transportasi yang bersifat massal lebih menguntungkan dibandingkan transportasi
yang berbasis kendaraan pribadi. Hal ini bisa kita lihat pada
kebijakan-kebijakan transportasi Jakarta dalam satu dasawarsa terakhir ini
uyang mulai menunjukkan tren untuk mengurangi jumlah kendaran pribadi dan
memperbaiki sistem angkutan umum di kota Jakarta.
Di masa Gubernur Surjadi
Soedirdja, Kepala DLLAJ DKI Jakarta J. P. Sepang diperintahkan untuk
memberlakukan Sistem Satu Arah (SSA) pada sejumlah ruas jalan. Langkah ini
meniru sistem di Singapura. Pemda DKI Jakarta di masa itu juga membuat jalur
khusus bagi bus kota dengan cat warna kuning, termasuk membangun sejumlah halte
bus dengan sarana telepon umum (Halte 2000). Lagi-lagi sayang, hal tersebut
akhirnya juga diiringi dengan antrean kendaraan yang makin memanjang di
jalan-jalan raya dan bus kota yang tidak juga tertib dalam menaik-turunkan
penumpang. Kemudian, Pemprov DKI Jakarta saat itu juga mempraktekkan sistem
pengaturan lampu lalu-lintas kawasan (Area Traffic Control System-ATSC)
pada 110 persimpangan yang bisa disaksikan setiap sore melalui tayangan Metro
TV. Tapi sistem adopsi Jerman itu tidak efektif untuk mengatasi persoalan
transportasi di Jakarta, kalah oleh hujan lebat yang turun dan berhasil mematikan
lampu lalu lintas secara tiba-tiba.
Pada tingkat struktur, Jakarta telah banyak diubah
oleh pembangunan prasarana jalan raya dan tol. Prasarana ini telah mengubah
peta kota dalam benak kita, tetapi tanpa menciptakan ruang kolektif baru yang
dikenal secara tripologis. Perubahan ini membawa konsekwensi social geografis
jalan lingkar membuat jarak tempat
berseberangan (timur-barat, utara-selatan) menjadi lebih cepat, sementara jarak
anatara pinggiran dan pusat semakin lama karena macet (M. Kusumawijaya, 2004: 63)
tulisannya bagus. tp kurang ada sumbernya aja ya mas.. hehe
ReplyDelete