PENANGGULANGAN
BANJIR
I.
Siklus Penanggulangan Banjir
Penanggulangan banjir dilakukan secara bertahap,
dari pencegahan sebelum banjir (prevention), penanganan saat banjir (response/intervention),
dan pemulihan setelah banjir (recovery). Tahapan tersebut berada dalam
suatu siklus kegiatan penanggulangan banjir yang berkesinambungan, sebagaimana
ditunjukkan seperti di bawah ini
1.
PENCEGAHAN ( Prevention)
·
Upaya - upaya Struktural
- Upaya di dalam badan Sungai ( In-Stream)
- Upaya di luar badan Sungai ( Off- Stream)
·
Upaya - upaya Non-Struktural
- Upaya Pencegahan Banjir Jangka Panjang
·
Upaya Pengelolaan Keadaan Darurat Banjir
dalam Jangka Pendek
2. PENANGANAN
( Intervention/Response)
·
Pemberitahuan dan Penyebaran Informasi
Prakiraan Banjir
·
Reaksi Cepat dan Bantuan Penanganan
Darurat Banjir
·
Perlawanan terhadap Banjir
3.
PEMULIHAN ( Recovery)
·
Bantuan Segera Kebutuhan Hidup
Sehari-hari dan Perbaikan Sarana dan Prasarana
- Pembersihan dan Rekonstruksi Pasca
Banjir
- Rehabilitasi dan Pemulihan Kondisi
Fisik dan Non-Fisik
·
Penilaian Kerusakan/Kerugian dan
Asuransi Bencana Banjir
·
Kajian Penyebab Terjadinya Bencana
Banjir
Kegiatan penanggulangan banjir mengikuti suatu
siklus (life cycle), yang dimulai dari banjir, kemudian mengkajinya
sebagai masukan untuk pencegahan (prevention) sebelum bencana banjir
terjadi kembali. Pencegahan dilakukan secara menyeluruh, berupa kegiatan fisik
seperti pembangunan pengendali banjir di wilayah sungai (in-stream)
sampai wilayah dataran banjir (off-stream), dan kegiatan non-fisik
seperti pengelolaan tata guna lahan sampai sistem peringatan dini bencana
banjir.
Setelah pencegahan dilaksanakan, dirancang pula tindakan
penanganan (response/intervention) pada saat bencana banjir terjadi.
Tindakan penanganan bencana banjir, antara lain pemberitahuan dan penyebaran
informasi tentang prakiraan banjir (floodforecasting information and
dissemination), tanggap darurat, bantuan peralatan perlengkapan logistik
penanganan banjir (flood emergency response and assistance),
danperlawanan terhadap banjir (flood fighting). Pemulihan setelah banjir
dilakukan sesegera mungkin, untuk mempercepat perbaikan agar kondisi umum
berjalan normal. Tindakan pemulihan, dilaksanakan mulai dari bantuan pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari, perbaikan sarana-prasarana (aftermath assistance
and relief), rehabilitasi dan adaptasi kondisi fisik dan non-fisik (flood
adaptation and rehabilitation), penilaian kerugian materi dan
non-materi, asuransi bencana banjir (flood damage assessment and insurance),
dan pengkajian cepat penyebab banjir untuk masukan dalam tindakan pencegahan (flood
quick reconnaissance study).
II. Kegiatan Penanggulangan Banjir
Dalam rangka mengurangi dampak banjir, telah disusun
berbagai Kegiatan penanggulangan, baik yang bersifat prevention, intervention
maupun recovery.
Pada
tahap pra bencana dilakukan:
(1) membuat peta rawan bencana;
(2)
membangun,meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai, tampungan air, dan drainase beserta peralatan
dan fasilitas penunjangnya;
(3)
menyusun peraturan dan menertibkan
daerah bantaran sungai;
(4)
membuat peta daerah genangan banjir;
(5) sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap
penanggulangan banjir;
(6)
menegakkan hokum terhadap pelanggaran
pengelolaan daerah aliran sungai;
(7)
menyediakan cadangan pangan dan sandang
serta peralatan darurat banjir lainnya;
(8)
membuat sumur resapan;
(9)
merevisi tata ruang propinsi maupun kota
secara terkoordinasi dan terintegrasi;
(10)
mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu;
(11)
membuat penampungan air berteknologi tinggi;
(12)
menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah sungai (SWS)
dan memberdayakan kelembagaan
pengelolaan SWS;
(13)
membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah;
(14)
mereboisasi kota dan daerah hulu;
(15)
mendirikan Posko banjir di wilayah RT/ RW.
Kebijakan
dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa:
(1)
pemberitahuan dini kepada masyarakat
tentang kondisi cuaca;
(2) menempatkan petugas
pada pos-pos pengamatan;
(3) menyiapkan sarana penanggulangan, termasuk
bahan banjiran;
(4)
mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang telah
direncanakan dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri,
Satlak PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Karang Taruna;
(5)
memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta
pelayanan
kesehatan
darurat kepada korban bencana;
(6)
mendata lokasi dan jumlah korban bencana. Pada tahap setelah banjir, kebijakan
dan program yang telah dilakukan di daerah studi umumnya masih bersifat fisik,
sedangkan yang bersifat non fisik masih belum ditemui.
Program
dan kegiatan fisik yang telah dilakukan adalah:
(1) pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas
publik;
(2) memperbaiki prasarana publik yang rusak;
(3) pembersihan lingkungan;
(4) mengajukan usulan pembiayaan program
pembangunan fasilitas penanggulangan banjir.
Upaya
pemerintah daerah mengendalikan banjir banyak menemui kendala, antara
lain
lantaran:
(1)
kurangnya kepedulian masyarakat menjaga lingkungan;
(2)
kurangnya kesadaran masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku dan menjaga
kebersihan
lingkungan;
(3)
kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan cenderung tergantung pada bantuan
pemerintah;
(4)
peraturan daerah masih sangat terbatas;
(5)
lemahnya penegakan hukum;
(6)
kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah;
(7)
terbatasnya dana pemerintah.
III.
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi
masyarakat merupakan proses teknis untuk memberi kesempatan dan wewenang lebih
luas kepada masyarakat, agar masyarakat mampu memecahkan berbagai persoalan
bersama-sama. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan
(level of involvement) masyarakat dalam kegiatan tersebut. Partisipasi masyarakat
bertujuan untuk mencari solusi permasalahan lebih baik dalam suatu komunitas,
dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan kontribusi
sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan.
Stakeholder penanggulangan
banjir secara umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) beneficiaries,
masyarakat yang mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak langsung;
(2) intermediaries, kelompok masyarakat atau perseorangan yang dapat
memberi pertimbangan atau fasilitasi dalam penanggulangan banjir, antara lain: konsultan,
pakar, LSM, dan profesional di bidang SDA.; (3) decision/ policy makers,
lembaga/institusi yang berwenang mebuat keputusan dan landasan hukum, seperti
lembaga pemerintahan dan dewan sumberdaya air. Sejalan dengan tuntutan
masyarakat akan keterbukaan dalam program-program pemerintah, maka
akuntabilitas pemerintah dapat dinilai dari sejauh mana partisipasi
masyarakat
dan pihak terkait (stakeholder) dalam program pembangunan. Partisipasi masyarakat,
mulai dari tahap kegiatan pembuatan konsep, konstruksi, operasional pemeliharaan,
serta evaluasi dan pengawasan.
Penentuan dan pemilahan stakeholder dilakukan
dengan metode Stakeholders Analysis yang terdiri dari empat tahap yaitu:
(1) identifikasi stakeholder; (2) penilaian ketertarikan stakeholder
terhadap kegiatan penanggulangan banjir; (3) penilaian tingkat pengaruh
dan kepentingan setiap stakeholder; (4) perumusan rencana strategi
partisipasi stakeholder dalam penanggulangan banjir pada setiap fase
kegiatan.4 Semua proses dilakukan dengan mempromosikan kegiatan
pembelajaran dan peningkatan potensi masyarakat, agar secara aktif
berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut ambil bagian,
dan memiliki kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi
sumber daya dalam kegiatan penanggulangan banjir. Tingkat partisipasi
masyarakat dalam kegiatan penanggulangan banjir terdiri dari tujuh
tingkat yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (1) penolakan (resistance/opposition);
(2) pertukaran informasi (information-sharing); (3) konsultasi (consultation
with no commitment); (4) konsensus dan pengambilan kesepakatan bersama (concensus
building and agreement); (5) kolaborasi (collaboration); (6)
pemberdayaan dengan pembagian risiko (empowerment-risk sharing);
(7) pemberdayaan dan kemitraan (empowerment and partnership).
Upaya penanggulangan banjir tidak terlepas dari
peran stakeholder dalam setiap kegiatan. Dari hasil survai diketahui
bahwa secara umum peran stakeholder, terutama penerima dampak bencana (beneficiaries),
masih terbatas dan peran pemerintah masih sangat dominan. Pada tahap pra
bencana, partisipasi masyarakat berupa keikutsertaan mereka dalam berbagai
kegiatan, seperti sosialisasi berbagai peraturan, membangun atau membersihkan saluran
drainase lingkungan secara swadaya, memprakarsai lomba kebersihan, menjaga dan memantau
kondisi lingkungan. Di samping itu aspirasi masyarakat belum dikelola dalam
bentuk
kelompok/organisasi kemasyarakatan, namun hanya memanfaatkan kelembagaan RT/RW.
Pada saat bencana, terjadi kerjasama yang
baik dalam pengevakuasian korban, pembagian makanan, pakaian, dan penyediaan
obat-obatan. Partisipasi masyarakat seperti ini muncul secara spontan sebagai
bentuk kepedulian sosial sesama masyarakat, tanpa diupayakan pemerintah. Dengan
belum tersedianya peraturan perundangan yang mengatur penanggulangan banjir,
maka pengaturan partisipasi masyarakat juga belum diatur. Pada semua daerah
survai, pendanaan program penanggulangan banjir sebagian besar sangat tergantung
pada pemerintah. Optimalisasi sumber pendanaan masyarakat, meskipun potensinya
cukup besar, belum dikelola secara baik, melainkan hanya mencakup pembiayaan
bantuan spontan yang bersifat charity dan perbaikan kecil prasarana lingkungan
secara swadaya.
No comments:
Post a Comment